Fenomena kopi gerobak kekinian kita melihat harganya bisa murah bagnet. Kita tentunya bisa mengamati kalau mereka sudah berhasil memotong biaya produksi dibandingkan menjual kopi dengan konsep kafe.
Di coffee shop misalnya, itu kan hasil dari value chain, jadi ada pertambahan nilai di setiap proses kopinya. Sampailah harga kopi di coffee shop mencapai Rp30.000 hingga Rp40.000.
Memang, kopi itu bisa dijual murah, namun yang membuat mahal karena tokonya bagus dan kursinya pakai yang branded atau dengan kayu dari mana yang mahal, sedangkan mesin kopinya harga ratusan juta.
Namun, Jago Coffee dengan konsep kopi gerobak keliling bisa menjual kopi asli, bukan saset, dengan harga Rp Rp8.000. Itu bukan karena bakar uang, tapi karena sudah banyak memotong biaya produksi dibandingkan menjualnya lewat coffee shop.
Kopi Jago memang perintis di dunia kopi gerobak keliling. Kopi Jago menawarkan akses yang yang lebih mudah karena bisa datang ke rumah-rumah di perkotaan melalui aplikasi.
Kopi Jago merupakan kopi gerobak kekinian yang cerdas dalam membuat strategi berjualan dan tidak terpikirkan oleh para pengusaha.
CEO dan Co-founder Jago Coffee, Yosua Tanu, menceritakan alasan dirinya membuat usaha kopi gerobak keliling.
Menurutnya, dia ingin membangun infrastruktur baru tentang ritel Indonesia yang sebenarnya melihat industri ritel seluler di masa depan.
Kemudian, kata Yosua, kemampuan untuk menghadirkan akses ke populasi massal dengan lebih fleksibel tanpa harus mencari-cari tempat ngopi yang enak lewat Google.
“Kan, buat gua maunya kopi enak, gua ada Rp30.000 yang gua mesti habiskan. Sayang kalau misal gua ke kafe yang baru tapi kopinya gak enak gitu gue maunya pasti aksesibilitasnya cukup rendah untuk kualitas kopi yang bagus,” tutur Yosua Tanu berbicara di akun YouTube Volix Media.
Selain itu, kata Yosua, dia juga ingin Jago Coffee bisa dinikmati oleh kalangan atas maupun menengah ke bawah yang suka dengan kopi namun aksesnya mudah didapat.
Yosua juga memiliki misi dengan Jago Coffee ini, yaitu ingin mengedukasi kopi berkualitas tinggi untuk semua orang.
“Jadi, kan masa hanya karena blue collar engak bisa minum kopi enak, yang menurut saya tidak adil bagi sebagian besar masyarakat. Jadi, itulah salah satu alasan memulai model ini dalam cara kita membangun gerobak,” ungkap Yosua.
Blue collar sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk pekerja atau buruh yang melakukan kerja kasar dan mendapatkan upah atau bayaran per jam.
Dia juga menjelaskan bahwa dibandingkan memperluas toko, dari segi efektifitas gerobak keliling jauh lebih efektif karena bergerak dan langsung mendatangi konsumen.
“Dan banyak di antaranya berkaitan dengan teknologi yang kita gunakan, bahkan digitalisasi Jago,” jelas dia.
Jika kamu ingin bertanya perihal franchise atau kemitraan, bisa menghubungi nomor WhatsApp di bawah ini.