Generasi Z dan Milenial saat ini menghadapi kondisi yang cukup sulit. Karena diperkirakan gen Z dan milenial menjadi lebih miskin dibandingkan generasi sebelumnya.
Hal ini karena adanya tren atau fenomena ‘doom spending’ alias pengeluaran yang tak terkendali. Dijelaskan doom spending terjadi ketika seseorang melakukan belanja tanpa berpikir panjang.
Dimuat dari laporan Psychology Today, hal ini terjadi karena pelarian dari stres atau kekhawatiran terhadap kondisi ekonomi dan masa depan. Salah satu faktor yang membuat hal ini karena akses informasi tentang krisis ekonomi, perang, hingga isu lingkungan bisa memperburuk fenomena ini.
Selain itu adanya pembayaran seperti ‘Buy Now, Pay Later (BNPL)’ turut mendorong perilaku belanja impulsif. Sehingga Gen Z dan Milenial semakin tidak terkendali dalam masalah keuangan.
Dalam Survei Keamanan Finansial Internasional CNBC kepada 4.342 orang dewasa di seluruh dunia memprediksi gen Z dan milenial bisa lebih miskin dibanding generasi sebelumnya.
Pada survei ini memperlihatkan bahwa hanya 36,5 persen orang dewasa merasa bahwa mereka lebih baik secara finansial daripada orang tua mereka. Sementara 42,8 persen sisanya merasa bahwa mereka sebenarnya lebih buruk daripada orang tua mereka.
Doom spending di Indonesia

Asalnya perilaku doom spending bisa terlihat dari Survei Intuit Credit Karma terhadap lebih dari 1.000 orang AS pada November 2023. Hasil survei menunjukkan bahwa 96 persen orang AS khawatir tentang keadaan ekonomi saat ini dan lebih dari seperempatnya menghabiskan uang untuk mengatasi stres.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet
mengatakan di Indonesia sendiri belum ada kajian mengenai fenomena doom spending masuk. Tetapi dia memprediksi fenomena ini akan terjadi dalam waktu dekat.
Yusuf mengungkapkan jika melihat data fenomena doom spending yang dilakukan gen Z dan milenial di AS yang cukup tinggi, cukup relevan dengan kondisi di RI.
Apalagi, Indonesia tengah mengalami bonus demografi di mana mayoritas penduduk adalah usia produktif seperti gen Z dan milenial.
“Di saat yang bersamaan kalau kita melihat kurangnya literasi keuangan juga menjadi faktor lain yang mendorong perilaku doom spending,” kata Yusuf yang dimuat CNNINdonesia.
Ia menjelaskan saat ini tingkat literasi keuangan di Indonesia relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara pembanding.
Tingkat literasi rendah

Pada Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2024 mengungkapkan bahwa tingkat literasi keuangan Indonesia memang masih terbilang rendah. Berdasarkan hasil survei Indeks Literasi Keuangan Nasional berada di angka 65,43 persen.
Angka tersebut masih lebih kecil dibanding tingkat literasi keuangan Malaysia, Singapura, dan Thailand. Tercatat, indeks inklusi keuangan Malaysia mencapai 88,37 persen, Singapura 97,55 persen, dan Thailand 95,58 persen.
Menurut Yusuf, tingkat literasi keuangan yang relatif rendah tentu akan berkorelasi dengan fenomena atau perilaku doom spending.
“Ketika individu merasa was-was terhadap kondisi yang mereka yakini tidak baik dan mempunyai akses untuk mendapatkan pinjaman tertentu akan bermuara terhadap kondisi doom spending,” jelas Yusuf.
Di tengah minimnya literasi keuangan, banyak generasi muda mengadopsi pola pikir ‘You Only Live Once (YOLO)’ dan ‘Fear Of Missing Out (FOMO)’. Mereka pun memilih untuk menikmati hidup dengan membelanjakan uang untuk barang-barang mewah.
Gayung bersambut, kehadiran sosial media pun dinilai menjadi pendorong generasi muda untuk FOMO. Ini lah yang menjadi faktor tambahan penstimulus perilaku doom spending.
“Kita juga tahu terkait sosial media, penetrasi internet di Indonesia merupakan salah satu yang tercepat dan ketika tidak ada filter dalam penetrasi ini, ya berpotensi bermuara terhadap perilaku doom spending,” kata Yusuf.
Jika kamu ingin bertanya perihal franchise atau kemitraan, bisa menghubungi nomor WhatsApp di bawah ini.
