Warteg atau disingkat Warung Tegal merupakan tempat makan favorit bagi masyarakat kelas menengah ke bawah di Jabodetabek. Warteg identik dengan sajian makanan mengenyangkan dengan harga yang terjangkau.
Makanan yang berasal dari Jawa Tegah ini merupakan sebuah bentuk usaha gastronomi berskala mikro yang berada di wilayah urban atau kota. Istilah warteg sudah tidak asing bagi masyarakat urban karena kemunculannya banyak berhubungan dengan perkembangan kaum urban.
Kehadiran Warteg memang tak terlepas dari kehidupan kaum urban menengah ke bawah. Banyaknya masyarakat yang merantau di kota-kota besar dijadikan peluang usaha bagi kaum urban dari Tegal untuk menyediakan makanan dengan porsi besar dan murah.
Sejarah Warteg

Tokoh Warteg Asmawi menyebut pionir juragan warteg adalah Mbah Bergas. Ia menjadi menjadi ujung tombak dan membawa warga Tegal ke Jakarta untuk mengadu nasib.
“Mbah Bergas orang yang pertama kali mengajak warga Desa Sidakaton dan Desa Sidapurna merantau ke ibu kota. Saat itu, merantau untuk mencari pekerjaan yang layak dan menghasilkan rezeki untuk memenuhi kehidupan keluarganya di rumah,” kata dia.
Asmawi menuturkan warteg muncul sekitar 1960-an. Kemunculannya seiring dengan pembangunan infrastruktur di Ibu Kota yang begitu pesat setelah 20 tahun kemerdekaan Republik Indonesia.
Ketika itu Presiden Soekarno sedang mempercepat pembangunan infrastruktur ibu kota dengan cepat. Kesempatan itu dimanfaatkan warga Tegal untuk mengadu nasib di Jakarta.
Mereka saat itu kebanyakan bekerja sebagai buruh bangunan dan tinggal di lokasi proyek dengan membuat bedeng. Sehingga istrinya mereka mencoba untuk membuka usaha warung makan.
“Di sela pekerjaannya, bagi sejumlah istri kuli bangunan mencoba untuk berbisnis kuliner dengan menjual nasi ponggol di lokasi proyek,” ucap Asmawi yang dimuat Liputan6 di kediamannya di Tegal, Jateng, Selasa (20/9/2016).
Nasi ponggol merupakan hidangan makanan nasi putih dengan lauk makanan sambal tahu dan tempe yang dibungkus dengan daun pisang. Menu itu merupakan makanan khas Tegal yang sudah turun temurun dan diperkirakan ada sejak setengah abad yang lalu.
Dari segi harga, nasi ponggol cukup murah meriah, lezat dan mengenyangkan. Maka itu, nasi ponggol menjadi favorit para pekerja proyek bangunan yang pekerjaannya menguras keringat.
Karena nasi ponggol sudah dikenal warga Tegal, maka bisnis kuliner itu pun jalan dan terus berkembang. Dari berjualan di pojok-pojok lokasi proyek, hingga akhirnya memiliki warung sendiri,” kata dia.
Seiring waktu, warteg dibuka tidak hanya di sekitar lokasi proyek-proyek pembangunan saja. Waktu mulai merambah ke pemukiman-pemukiman.
Warteg modern

Memasuki awal 1990-an, bangunan warteg yang bangunnya berbentuk bedeng darurat berubah menjadi semi permanen. Namun, ciri khas bangunan warteg yang berukuran 3×3 meter dan bagian depan bercat biru masih kerap dipertahankan.
“Kalau sekarang ini warteg sudah sangat berkembang, bahkan sampai beberapa di antaranya sudah menjadi rumah makan. Tapi, masih ada juga yang bentuknya masih seperti biasa yang sederhana,” kata dia.
Keberhasilan kepopuleran warteg dibuktikan dengan dijadikannya pilihan utama bahkan makanan simbolis bagi kaum urban untuk memenuhi kebutuhan primernya. Beberapa keunggulan yang dimiliki warteg dibandingkan warung makanan lainnya, yakni memiliki lauk yang beragam, porsi yang mengenyangkan, dan harga yang terjangkau.
Usaha warteg memiliki kontribusi yang besar dalam membantu perantau di kota-kota besar. Bahkan dalam perkembangannya dari segi konsumen mengalami pergeseran yang dulunya identik dengan kaum menengah ke bawah, kini umum dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat.
Kesuksesan para pedagang warteg dalam memperluas bisnis semakin memperkuat hubungan antar sesama pedagang warteg dan mempercepat pertumbuhan dan perkembangan usaha secara signifikan. Penambahan pendapatan yang substansial secara otomatis berdampak pada gaya hidup yang meningkat dan memicu pertumbuhan ekonomi di desa.
Kepemilikan warteg tidak terbatas pada individu tunggal, melainkan merupakan kolaborasi dari beberapa individu, baik dengan ikatan keluarga maupun tanpa ikatan, dengan konsep pembagian waktu pengelolaan yang bergiliran, seperti pertelon atau pertiga dan perempat bulan.
Mereka yang tidak sedang bertugas mengelola warung biasanya kembali ke kampung halaman mereka dan melakukan kegiatan pertanian hingga giliran mereka tiba lagi.
Secara umum persebaran warteg di wilayah urban, diantaranya berada di wilayah kampus, proyek-proyek pembangunan, kompleks hunian masyarakat, pasar, dan pusat keramaian lainnya.
Selain itu, bangunan warteg juga identik dengan warna-warna tertentu, seperti hijau dan biru serta ukurannya yang kecil. Warna biru pada warteg memiliki fakta unik yang melambangkan kampung halaman Kota Tegal yang berada di daerah pesisir.
Jika kamu ingin bertanya perihal franchise atau kemitraan, bisa menghubungi nomor WhatsApp di bawah ini.







