Blue Brid lagi-lagi menjadi perbincangan hangat di platform X. Hal ini setelah adanya selebtwitt Kalis Mardiasih (@.mardiasih) yang memberikan pujian kepada taksi konvensional tersebut.
Istri dari Agus Mulyadi ini menceritakan pengalamannya saat berbincang dengan supir taksi blue brid yang sudah bekerja selama 24 tahun. Dalam cuitan panjang itu, Kalis tertarik karena status ‘Lama kerja 24 tahun’ tercantum di informasi pengemudi di argo.
Dia mendapatkan cerita bagaimana perusahaan jasa ini berhasil bertahan sekian lama sekaligus memanusiakan karyawannya. Dari cerita yang dibagikan pada Minggu (1/9) malam kemarin, diketahui supir yang mengantarkan Kalis sudah mendapatkan hadiah emas sebanyak tiga kali.
Sang supir sebenarnya telah memasuki pensiun dan boleh berhenti bekerja jika mau. Tetapi sang supir mengaku masih sehat dan masih ada keponakan yang harus dibiayai.
Sang supir juga bercerita bahwa putrinya baru saja dioperasi saat melahirkan dan seluruh biaya ditanggung oleh perusahaan.
Dari cerita Kalis ini, mengalirkan cerita-cerita serupa dan pujian yang tertuju pada Blue Bird.
Kendati awalnya bersaing ketat dengan ojek online, Blue Bird tetap mampu bertahan dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi di sektor transportasi. Bahkan setelah masa pandemi, Blue Bird menjadi perusahaan yang cukup sehat.
Sejarah pendirian
PT Blue Bird Tbk (BIRD) tidak lepas dari cerita inspiratif Mutiara Djokosoetono. Dia adalah sosok penting di balik pendirian perusahaan taksi berlogo burung biru tersebut.
Mutiara Siti Fatimah adalah wanita kelahiran Kota Malang pada 17 Oktober 1921, dia merupakan alumni Sekolah Guru Belanda dan melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Perjalanan bisnis Blue Bird bermula setelah Djokosoentono, suaminya, meninggal dunia. Djokosoetono adalah seorang pakar hukum yang turut mendirikan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan Akademi Hukum Militer (AHM).
Sebelum Djokosoetono meninggal dunia, Mutiara Siti Fatimah dan keluarga sudah berbisnis telur. Kedua anaknya, Purnomo Prawiro dan Chandra Suharto, turut membantu orang tuanya untuk menjalankan bisnis.
Dari situ, keluarga Djokosoetono membeli mobil bemo yang diberikan kepada kedua putranya untuk menarik penumpang dengan rute Harmoni-Kota. Keluarga ini juga menerima hadiah dua unit mobil sedan, Opel dan Mercedes, dari PTIK dan AHM.
Setelah Djokosoetono meninggal dunia, Fatimah memutar otak untuk mencari cara agar kebutuhan sehari-hari keluarganya tetap terpenuhi, termasuk pendidikan anak-anaknya. Bagi Fatimah, pendidikan adalah mutlak.
“Harta terbesar dalam hidup manusia adalah kepintaran, karena itu tidak bisa hilang atau dirampas,” demikian prinsip Fatimah, dikutip dari situs resmi Blue Bird (6/8).
Dari sinilah, Ibu Fatimah mengusulkan kepada anak-anaknya untuk menjadikan dua mobil itu sebagai taksi. Saat itu, bisnis taksi Djokosoetono diberi nama Chandra Taksi. Purnomo dan Chandra pun ikut menyetir mobil untuk mengantarkan penumpang.
Bisnis yang dijalankan Djokosoetono saat itu adalah pesanan taksi melalui telepon. Statusnya tentu saja masih ilegal. Pada masa itu, taksi gelap cukup populer di Jakarta, karena tidak banyak penduduk Jakarta yang menggunakan mobil pribadi.
Ali Sadikin selaku Gubernur DKI Jakarta saat itu menetapkan peraturan, perusahaan taksi wajib mendaftarkan izin operasional. Salah satu syaratnya adalah perusahaan harus memiliki sedikitnya 100 unit armada mobil taksi.
Namun saat itu keluarga Djokosoetono hanya punya 60 unit mobil taksi, sehingga izinnya ditolak oleh DLLAJ DKI Jakarta. Namun Fatimah pantang menyerah.
Berbekal kartu nama yang diberikan oleh murid Djokosoetono, sang suami, yang saat itu sudah bekerja di Bank Bumi Daya, Fatiman mengajukan pinjaman ke bank tersebut. Dari sini, Fatimah berhasil memenuhi persyaratan jumlah armada dan mengantongi izin dari Pemprov Jakarta.
Blue Bird berkembang
Pada 1 Mei 1972, taksi Blue Bird pun mulai beroperasi secara resmi di jalanan Jakarta.
Fatimah memilih nama Bluebird terinspirasi dari dongeng Eropa ‘Bird of Happiness’ atau Burung Pembawa Kebahagiaan. Pilihan nama ini adalah cerminan doa, sebab dia mendirikan Bluebird dengan sepenuh hati, didukung oleh anak-anaknya yang berusaha menciptakan kehidupan lebih baik.
Sejak saat itu, bisnis Blue Bird berkembang pesat dan bertahan hingga hari ini. Pada 1992, Blue Bird menjadi salah satu perusahaan transportasi yang secara resmi menangani para tamu KTT GNB. Blue Bird mengembangkan pelayanan dan skema bisnisnya dari tahun ke tahun.
Segmen Blue Bird pun bertambah dengan kehadiran Silver Bird. Blue Bird juga menyediakan layanan penyewaan bus besar. Blue Bird melantai di Bursa Efek Indonesia pada 2014 dengan kode emiten ‘BIRD’. Setengah abad lebih beroperasi, Blue Bird juga telah memiliki beberapa anak usaha yang bergerak di sektor transportasi.
Siapa sangka, profesionalisme yang melekat kuat pada pengemudi-pengemudi taksi Blue Bird adalah prinsip yang telah diajarkan oleh Fatimah sejak dulu.
“Kita bukan perusahaan taksi biasa. Kita adalah armada taksi yang memberikan pelayanan ekstra. Profesionalisme kita yang menentukan perusahaan ini akan maju atau tidak. Kredibilitas baik yang kita bangun hari ini adalah masa depan kita,” ujarnya
Itulah cerita inspiratif Mutiara Djokosoetono, sosok penting di balik pendirian perusahaan taksi Blue Bird.
Jika kamu ingin bertanya perihal franchise atau kemitraan, bisa menghubungi nomor WhatsApp di bawah ini.